1. Pentingnya
EAFM ditinjau dari prespektif ekosistem, hasil tangkapan, permintaan konsumen
dan upaya tangkap perikanan
Analisis pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem untuk aspek teknis menggunakan enam (6)
indikator utama yaitu : (1) fishing capacity; (2) selektivitas alat tangkap;
(3) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif; (4) Perubahan fungsi, ukuran dan jumlah kapal
penangkap ikan; (5) Modifikasi alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan
sesuai dengan peraturan.
Pengelolaan perikanan
tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan
target populasi yang berkelanjutan. Namun, pengelolaan perikanan perlu juga mempertimbangkan
ekosistem dan sumberdaya hayati yang berkelanjutan
sebagai habitat dari populasi ikan. Dampak ekosistem akibat pemanfaatan
sumberdaya hayati menjadi penting untuk
diidentifikasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya
bisa diminimalisir dan diantisipasi
sehingga tidak menimbulkan degradasi sumberdaya hayati yang berkelanjutan.
Pendekatan yang lebih mengedepankan
aspek keberlanjutan ekosistem ini lebih dikenal dengan pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap.
Di beberapa wilayah terjadi eksploitasi sumberdaya ikan tanpa kendali. Pada daerah
dengan stok yang sudah
menipispun,
laju
penangkapan
masih terus
meningkat.
Sehingga keterbatasan akses terhadap sumberdaya, tidak jarang menimbulkan konflik perebutan sumberdaya ikan. Pengendalian perikanan tangkap secara teknis hendaknya dilakukan dengan mengontrol upaya penangkapan
(input control), manajemen
hasil tangkapan (output
control) dan pengendalian
ekosistem.
2.
Kerangka Kebijakan
Internasional EAFM
EAFM
(Ecosystem Approach to Fisheries Management) atau Pendekatan Ekosistem untuk
Pengelolaan Perikanan merupakan pengelolaan perikanan dengan ekosistem dengan
memperhatikan samua aspek yaitu: Habitat, Sumber Daya Ikan,
Teknologi Penangkapan, Sosial masyarakat, Ekonomi, Kelembagaan, seperti yang
terlihat pada gambar berikut.

Konsep dan implementasi EAFM ini di
terapkan di empat Negara yaitu Indonesia, Filipina, Tanzania dan Solomon
Islands. Kenapa EAFM?
1.
Penurunan Sumber Daya Ikan
2.
Rusaknya habitat perairan, pesisir dan laut
3.
Pemahaman dan kesadaran manusia
Tiga hal tersebuut merupakan tolak
ukur untuk diterapannya EAFM di suatu kawasan atau daerah. Dari tahun ke tahun
data hasil perikanan tangkap rata-rata diseluruh wilayah di Indonesia mengalami
penurunan, hal ini disebabkan oleh rusaknya habitat perairan, pesisir dan laut,
kerusakan alam ini bisa saja disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan, pembuangan limbah yang sembarangan dan lain sebagainya. Dengan
demikian pemahaman dan kesadaran kita akan pentingnya menjaga ekosistem sangat
dibutuhkan agar ketersediaan stok ikan tetap terjaga.
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem
Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to
fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of
the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of
ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to
fisheries within ecologically meaningful boundaries.
Mengacu pada definisi tersebut,
secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana
menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan
(kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap
mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen
biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah
pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip
yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah (1) perikanan harus dikelola
pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2)
interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3
perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya
ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan
perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan
sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip
EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi
struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka
berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya
menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative
functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan
atau fisheries management functions (Adrianto et al, 2008)
Selain itu Implementasi EAFM di
dalamnya mencakup: Perencanaan kebijakan yang menitikberatkan pada
pernyataan komitmen dan pengambilan keputusan terkait implementasi EAFM
(pemangku kepentingan, masyarakat dll), kemudian Perencanaan strategi
(Strategic plan) yang merupakan formulasi strategi untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapakan pada rencana kebijakan, dan selanjutnya
adalah Rencana pengelolaan (managemen plan) yang menitikberatkan
pada rencana aktivitas dan aksi yang lebih detail termasuk didalamnya terkait
dengan koordinasi rencana aktivitas stakeholder, rencana pengendalian,
pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan di rencana strategis