Sabtu, 31 Januari 2015

Permasalahan Yang Timbul Sebagai Dampak Aktivitas Wisata Ditinjau Dari Aspek Sosial Budaya

Dampak Sosial Budaya

Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
  1. Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
  2. Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
  3. Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah ‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan
 Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
  1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
  2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
  3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
  4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
  5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
  6. Dampak terhadap pola pembagian kerja;
  7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
  8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
  9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
  10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.

Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.

Analisis Dampak Sosial Budaya
No
Indikator
Sebelum Pengembangan
Sesudah Pengembangan dan dampak
1
Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya
Ketergantungan rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit
Ketergantungan semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (dampak baik)
2
Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat
Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian
Hubungan kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)
3
Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial
Organisasi dengan manajemen tradisional
Organisasi cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)
4
Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata
Migrasi masih sedikit
Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)
5
Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
Ritme kehidupan masih lambat
Ritme kehidupan meningkat (dampak baik)
6
Dampak terhadap pola pembagian kerja
Pembagian kerja masih sederhana
Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)
7
Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial
Stratifikasi sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati
Persamaan derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas dasar siapa orang tersebut (dampak baik)
8
Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan
Pengaruh kekuasaan terpusat
Kekuasaan terdistribusi dan terpecah (dampak baik)
9
Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial
Penyimpangan social rendah, masih tuduk pada norma adat
Penyimpangan sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak kurang baik)
10
Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Kesenian dan adat istiadat masih sangat konvensional
Kesenian dan adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)


Kesimpulan
Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri. Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya, karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.
Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di Tanjung Benoa.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan pariwisata di Tanjung Benoa.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local, Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :

  • Ø Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.
  • Ø Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.
  • Ø Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.
  • Ø Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor
Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi.. Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian, hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.

CHE.R.RY - YUI



Tenohira de furueta
Sore ga chiisana yuuki ni
Natte ita nda

Emoji wa nigate datta
Dakedo kimi kara dattara
WAKUWAKU shichau

Henji wa sugu ni shicha DAME da tte
Dareka ni kiita koto aru kedo
Kakehiki nante dekinai no

...Suki nano yo
Ah ah ah ah

Koi shichattan da
Tabun kizuitenai deshou?
Hoshi no yoru negai komete
CHE.R.RY
~Yubisaki de okuru KIMI e no MESSEEJI

SAKURA ga saite iru
Kono heya kara
Mieteru keshiki o zenbu

Ima KIMI ga kanjita
Sekai to juubyou
Torikaete morau yori

Hon no ichigyou demo kamawanai nda
KIMI kara no kotoba ga hoshii nda
USO demo shinji tsuzukerareru no

...Suki dakara
Ah ah ah ah

Koi shichatta nda
Tabun kizuitenai deshou?
Hoshi no yoru negai komete
CHE.R.RY
~Yubisaki de okuru KIMI e no MESSEEJI

Amaku naru
Kajitsu ga ii no
Nanigenai kaiwa kara
Sodatetai
Ah ah ah ah

Koi no hajimari
Mune ga KYUN to semaku naru
Itsumade mo matte iru kara
Haru no tsumetai yokaze ni azukete MESSEEJI

Koi shichatta nda
Tabun kizuitenai deshou?
Hoshi no yoru negai komete
CHE.R.RY
~Yubisaki de okuru KIMI e no MESSEEJI