Dampak Sosial Budaya
Secara teoritikal-idealistis, antara
dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson
and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between
social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan
dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak
sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu: (Martin, 1998:171):
- Perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
- Perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
- Perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di
dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat,
pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat.
Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood
(1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata
dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak
(pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah),
atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga
asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan
seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti
ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak
mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di
dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat,
harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal
terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang
kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah
‘pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat’, dimana masyarakat
mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau
apa yang disebut sebagai proses ‘turistifikasi’ (touristification). Di samping
itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja
terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung
ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada
berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Sementara banyak yang khawatir
dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan lokal, bagi
Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi
pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas
otomatis hilang. Akulturasi merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan
antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui adanya komoditisasi dari berbagai
aspek keagamaan
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan
dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
- Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
- Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
- Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
- Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
- Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat
- Dampak terhadap pola pembagian kerja;
- Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
- Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
- Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
- Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.
, yang memunculkan konflik, karena pengaruh pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen (1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):‘Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass tourism’ (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali. Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan: “Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela kekhawatirannya terhadap berbagai dampak negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang” (1989: 17).
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.
Analisis Dampak Sosial Budaya
No
|
Indikator
|
Sebelum Pengembangan
|
Sesudah Pengembangan dan dampak
|
1
|
Dampak terhadap keterkaitan dan
keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas,
termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya
|
Ketergantungan
rendah dengan masyarakat luar, karena kebutuhan dan keinginan masih sedikit
|
Ketergantungan
semakin tinggi karena kebutuhan semakin meningkat seiring dengan peningkatan
pendapatan (dampak baik)
|
2
|
Dampak
terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat
|
Hubungan
sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian
|
Hubungan
kurang erat akibat keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik)
|
3
|
Dampak
terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial
|
Organisasi
dengan manajemen tradisional
|
Organisasi
cenderung mengarah pada manajemen modern (dampak baik)
|
4
|
Dampak
terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata
|
Migrasi masih
sedikit
|
Migrasi
menjadi semakin banyak (dampak kurang baik)
|
5
|
Dampak terhadap ritme kehidupan
sosial masyarakat
|
Ritme kehidupan masih lambat
|
Ritme kehidupan meningkat (dampak
baik)
|
6
|
Dampak
terhadap pola pembagian kerja
|
Pembagian
kerja masih sederhana
|
Pembagian
kerja semakin kompleks (dampak baik)
|
7
|
Dampak
terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial
|
Stratifikasi
sangat kental khususnya pemilik tanah sangat dihormati
|
Persamaan
derajat, seseorang dihormati atas dasar apa yang diperbuat, dan bukan atas
dasar siapa orang tersebut (dampak baik)
|
8
|
Dampak terhadap distribusi
pengaruh dan kekuasaan
|
Pengaruh kekuasaan terpusat
|
Kekuasaan terdistribusi dan
terpecah (dampak baik)
|
9
|
Dampak terhadap meningkatnya
penyimpangan-penyimpangan sosial
|
Penyimpangan
social rendah, masih tuduk pada norma adat
|
Penyimpangan
sosial semakin tinggi karena lebih menekankan pada kebebasan individu (dampak
kurang baik)
|
10
|
Dampak terhadap bidang kesenian
dan adat istiadat.
|
Kesenian dan
adat istiadat masih sangat konvensional
|
Kesenian dan
adat istiadat semakin berkembang (dampak baik)
|
Kesimpulan
Saat ini yang dibutuhkan Bali ke depan, adalah sebuah
perencanaan sosial yang matang terhadap budaya masyarakat Bali itu sendiri.
Kondisi sosial masyarakat tanjung benoa berada dalam keadaan yang kondusif
dimana dengan adanya pariwisata memacu masyarakat mengembangkan kebudayaannya,
karena masyarakat tanjung benoa merasa bangga terhadap budaya yang mereka
miliki sehingga mampu menarik wisatawan manca Negara, disamping potensi alam
pesisir yang mereka miliki. Penilaian kondusif didasarkan pada analisis dampak
sosial melalui indikator-indikator yang jelas secara teoritis.
Perencanaan sosial yang harus diperhatikan oleh
pemerintah dalam hal ini haruslah yang sesuai dengan semangat partisipasif
masyarakat Bali itu sendiri. Pemerintah harus memberikan sebuah terobosan untuk
melaksanakan perencanaan sosial seperti apa yang dikehendaki oleh masyarakat.
Sehingga tidak terkesan alur pembangunan pariwsata Bali, tidak hanya mengalami
pendekatan yang bersifat top down tetapi juga bersifat bottom up. Ketika
pemerintah telah berhasil dalam menentukan pedoman utama untuk membuat
perencanaan tersebut, maka dibutuhkan tangan yang kuat untuk mempertahankan
prinsip-prinsip tersebut dari tekanan grup kuat dalam penduduk.Yang lebih
difokuskan pemerintah daerah Bali ke depan adalah bagaimana strategi sosial
untuk mengatasi permasalahan sosial terkait dengan pengembangan pariwisata di
Tanjung Benoa.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melanda
Tanjung Benoa sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan
arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki
kebudayaan bermacam-macam memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam
masyarakat Tanjung Benoa. Bermacam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh
masyarakat, bahkan tidak jarang masyarakat sendiri memiliki teknologi yang
muncul sebagai akibat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Lambat laun dapat
kita perhatikan bahwa perubahan sosial sudah terjadi dengan sangat cepatnya di
Tanjung Benoa. Perubahan yang terjadi sebagai akibat kontak dengan kebudayaan
asing. Lambat laun hal ini mempengaruhi pranata-pranata masyarakat Tanjung
Benoa. Sehingga, untuk bertahan dari semua itu Tanjung Benoa memerlukan
strategi budaya ke depan untuk tetap dapat survive di daerahnya sendiri. Dengan
strategi tersebut dapat dijamin bahwa masyarakat Tanjung Benoa ke depan akan
mampu melihat dengan lebih jernih modernisasi dan tidak hanya sekadar sebagai
objek yang mudah dimanipulasi, tetapi juga sebagai pangkal pembangunan
pariwisata di Tanjung Benoa.
Untuk mengatasi kesenjangan sosial
yang mencolok antara wisatawan dan masyarakat local,
Reisinger(1997)menganjurkan beberapa hal yang harus ditempuh antara lain :
- Ø Masyarakat local agar diberikan pendidikan ,pemahaman,dan apresiasi terhadap budaya asing/wisatawan.
- Ø Wisatawan harus diberikan informasi tentang budaya masyarakat lokal.
- Ø Adanya standarisasi Internasional bila terjadi perbedaan kebudayaan antara masyarakat lokal dan wisatawan.
- Ø Ratio wisatawan dan masyarakat lokal harus dimonitor
Di bidang budaya harus dirintis kembali pengembangan dan
peningkatan kehidupan kebudayaan dikalangan masyarakat secara rutin dan
berkesinambungan diberbagai tingkatan daerah, mulai dari tingkat desa sampai ke
perkotaan, tidak lagi dipusatkan hanya di Pusat ataupun di ibu kota propinsi..
Adanya upaya penyeragaman budaya menjadi budaya nasional, seperti pada masa
lalu, agar ke-bhineka-an budaya dan kesenian dapat tumbuh berkembang dengan
sehat dan alamiah. Apresiasi budaya dan kesenian diberbagai tingkatan harus
dilakukan oleh rakyat secara spontan bukan lagi didasarkan karena adanya arahan
dari pusat ataupun diselenggarakan melalui panitia pusat. Yang pada akhirnya
setelah surat keputusan berakhir maka berbagai event ataupun festival
pun tidak muncul lagi dan menunggu SK berikutnya. Paragdima berpikir semacam
ini haruslah dikikis habis oleh para pelaku pariwisata itu sendiri. Apabila
pemerintah mempunyai dana untuk membantu kegiatan-kegiatan budaya kesenian,
hendaknya hanyalah bersifat “ start-up ” untuk menggulirkan kegiatan
tersebut pada tahap-tahap awal, sedangkan untuk selanjutnya harus dapat
dikembangkan sendiri dari swadaya masyarakat.